SH Mintardja. Seri: Api Di Bukit Menoreh. Cerita ini merupakan Seri ketiga dari Kisah Agung Sedayu dan Panembahan Senopati. "Cuplikan : Agung Sedayu, kau tidak usah takut. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa karena anak ini akan menjadi tanggungan. Jika kau tidak kembali dalam waktu yang kami anggap cukup, maka anak ini akan kami bunuh di sini Bagian 3 Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menundukkan wajahnya. Berbagai pertimbangan telah tumpang tindih dan wor suh menjadi satu dalam benaknya. Sejenak suasana menjadi sunyi. Ketika terdengar lamat-lamat para peronda di gardu-gardu telah menabuh kentongan dengan nada dara muluk, Kanjeng Sunan dengan perlahan berdesis, “Sudahlah Ki Rangga. Engkau dapat mengesampingkan dahulu pertanyaanku tadi. Sekarang sudah ada tugas yang menunggu.” Terkejut Ki Rangga mendengar kata-kata Kanjeng Sunan sehingga tanpa sadar dia mengangkat wajahnya. Namun begitu menyadari Kanjeng Sunan sedang memandang ke arahnya, dengan cepat Ki Rangga segera menundukkan wajahnya. “Ampun Kanjeng Sunan,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menyembah, “Tugas apakah yang harus hamba laksanakan?” Untuk beberapa saat Kanjeng Sunan tidak menjawab. Hanya terdengar helaan nafasnya yang panjang. Seolah-olah Wali yang waskita itu sedang gundah dengan segala polah tingkah manusia di atas bumi ini. “Ki Rangga,” akhirnya Kanjeng Sunan berkata perlahan, “Segala sesuatu yang terjadi di atas bumi ini sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa. Namun sebagai hambaNYA kita diijinkan untuk berdoa dan berusaha,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pergilah ke Lemah Cengkar. Engkau pasti sudah tahu dimana tempat itu. Bantulah pasukan Mataram yang sedang mengalami kesulitan.” Bergetar dada Ki Rangga mendengar perintah Kanjeng Sunan. Dengan memberanikan diri, Ki Rangga pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan, Lemah Cengkar terletak di dekat Kademangan Jati Anom. Jarak Jati Anom dengan Tanah Perdikan Menoreh ini tidak lah dekat. Hamba mohon petunjuk Kanjeng Sunan.” Kanjeng Sunan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawabnya kemudian, “Bukankah aku tadi sudah mengajarkan sebuah doa dari Kanjeng Nabi junjungan kita agar dalam menempuh sebuah perjalanan, kita diberi kemudahan oleh Yang Maha Agung?” “Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga dengan serta merta, “Namun Kanjeng Sunan belum menjelaskan laku apakah yang harus hamba tempuh sebagai asok tukon dalam menguasai ilmu itu?” Senyum Kanjeng Sunan pun semakin lebar mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawab Kanjeng Sunan kemudian, “Apa yang diajarkan oleh Junjungan kita, sangatlah berbeda dengan apa yang selama ini Ki Rangga pelajari. Dalam mengamalkan sebuah doa, tidak dituntut untuk mengerjakan sebuah laku khusus. Justru laku yang harus kita tempuh adalah sepanjang hayat masih dikandung badan. Tingkah laku sepanjang hidup kita lah yang akan menentukan terkabul tidaknya sebuah permohonan.” Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil tetap menundukkan wajahnya, Ki Rangga kembali menyembah sambil berkata, “Mohon ampun Kanjeng Sunan, apakah syarat terkabulnya sebuah doa tergantung dari baik buruknya tingkah laku kita?” Kali ini Kanjeng Sunan tertawa kecil. Jawabnya kemudian, “Yang Maha Agung telah memberikan pilihan kepada hambaNYA. Dari arah manakah kita akan memohon pertolonganNYA? Jika kita menghendaki dapat merengkuh kebaikan di dunia ini maupun di alam kelanggengan nanti, tentu saja kita akan selalu berusaha menempuh jalan yang diridhoiNYA.” Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Nasehat Kanjeng Sunan sedikit banyak telah menambah wawasan dalam kawruh olah kebatinan di dalam dirinya. “Nah, Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Berangkatlah. Panjatkan lah doa dengan sepenuh niat hanya berpasrah diri kepadaNYa. Semoga Yang Maha Agung senantiasa memberi kita petunjuk dan bimbinganNYA.” “Hamba, Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil menyembah. Dengan perlahan Ki Rangga segera memutar tubuhnya menghadap Kiblat. Diangkatnya kedua tangan untuk memohon pertolongan dari penguasa jagad raya dan seisinya ini. Ketika Ki Rangga telah selesai memanjatkan doa, dengan perlahan dia menggeser duduknya menjauhi tempat duduk Kanjeng Sunan sebelum akhirnya Ki Rangga bangkit berdiri. Perlahan Ki Rangga menghadap ke arah pintu sanggar yang tertutup rapat. Ketika Ki Rangga kemudian melangkah mendekati pintu sanggar dengan langkah yang tampak sedikit ragu-ragu, terdengar Kanjeng Sunan berkata perlahan namun cukup menggetarkan jantung suami Sekar Mirah itu. “Jangan pernah ragu-ragu dalam mengerjakan suatu pekerjaan atas dasar niat yang ikhlas dan semata-mata mencari ridhloNYA. Sesungguhnya Tuhanmu tidak akan menolong hambaNYA yang hatinya selalu diliputi oleh keraguan.” Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang mendengar nasehat Kanjeng Sunan. Hatinya yang sedikit ragu-ragu kembali menjadi tenang. Betapapun, Ki Rangga sudah terbiasa menjalani sebuah laku terlebih dahulu sebelum meraih keberhasilan dalam mempelajari sebuah ilmu. Namun yang terjadi sekarang ini adalah bagaikan dalam sebuah mimpi. Dirinya akan mengetrapkan sebuah doa yang aka dapat dijadikan sebagai sarana memohon pertolongan kepada Yang Maha Agung tanpa menjalani sebuah laku pun sebelumnya. “Aku harus yakin,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sekuat keyakinanku bahwa Yang Maha Agung itu benar adaNYA dan hanya melalui pertolonganNYa lah, seorang hamba mampu melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya.” Dengan tangan sedikit gemetar, Ki Rangga membuka selarak pintu sanggar. Begitu pintu sanggar itu mulai terbuka, angin malam yang dingin segera menampar wajahnya. Sementara pandang mata Ki Rangga hanya menangkap kegelapan yang pekat di luar sanggar. Sejenak hati Ki Rangga Agung Sedayu kembali diliputi sepercik keragu-raguan. Namun ketika tanpa sadar dia berpaling ke belakang, alangkah terkejutnya suami Sekar Mirah itu ketika pandangan matanya tidak melihat lagi Wali yang waskita itu duduk di tempatnya. “Hem,” desah Ki Rangga perlahan sambil kembali memandang ke luar sanggar. Kegelapan yang pekat benar-benar membuat Ki Rangga sedikit bimbang. Sudah dicobanya untuk menembus kegelapan itu dengan Aji Sapta Pandulu, namun seolah-olah sebuah tabir yang hitam pekat telah dibentangkan di depan matanya. Angin malam yang dingin terasa menusuk tulang dan membekukan darah. Namun Ki Rangga tidak akan mundur setapak pun. Dengan hati yang pasrah dan sepenuh keyakinan akan kekuasaan Yang Maha Agung, dia kembali membaca doa yang telah diajarkan oleh Kanjeng Sunan. Selangkah Ki Rangga maju. Ketika kegelapan ternyata masih saja menghadang di hadapannya, dia segera membulatkan tekadnya dan memutuskan untuk membuang jauh-jauh semua keragu-raguan itu. Dengan menyebut Asma Yang Maha Agung, Ki Rangga pun kemudian segera mempercepat langkahnya. Untuk beberapa saat Ki Rangga berjalan dalam kepekatan. Bagaikan di alam mimpi, Ki Rangga merasa seolah-olah berada di sebuah ruang tanpa batas. Hanya kegelapan yang tampak di sekelilingnya. Namun semua itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja pendengaran Ki Rangga yang tajam lamat-lamat telah menangkap suara teriakan dan bentakan ditingkah oleh suara denting beradunya senjata. Semakin lama suara itu terdengar semakin riuh, dan akhirnya seiring dengan berkurangnya kegelapan yang mengurungnya, samar-samar dalam pandangan matanya tampak bayangan sebuah pohon raksasa yang menjulang di tengah padang. “Pohon beringin lemah cengkar,” tanpa sadar Ki Rangga Agung Sedayu berdesis. Tiba-tiba saja sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Betapa tidak, pada masa mudanya Ki Rangga Agung Sedayu sama sekali tidak pernah berani melewati daerah itu. Bahkan ketika kakaknya Untara terluka dan dirawat oleh dukun tua di dukuh Pakuwon, dan dia harus menggantikan tugas kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung menemui Pamannya, Widura, dia lebih memilih lewat Kaliasat walaupun untuk mencapai Kaliasat dia harus melewai Hutan Macanan serta Bulak Dowo yang terkenal dengan genderuwo mata satunya. “Sebuah kenangan yang tak mungkin terlupakan seumur hidupku,” desis Ki Rangga dalam hati sambil terus melangkah. Dengan mengetrapkan kemampuannya dalam menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan akibat sentuhan kehadirannya dengan alam sekitarnya, perlahan Ki Rangga Agung Sedayu melangkah semakin mendekati pohon beringin raksasa itu. ***** Dalam pada itu malam telah melewati puncaknya. Sekar Mirah yang telah selesai berbenah terkejut ketika pendengarannya yang tajam mendengar langkah-langkah mendekat. Sesaat kemudian terdengar sebuah ketukan perlahan di pintu bilik. “Siapa?” bertanya Sekar Mirah dengan suara perlahan namun cukup terdengar oleh orang yang berdiri di balik pintu bilik. “Aku mbok Gumbrek, Nyi,” terdengar sahutan perlahan dari balik pintu. “O, masuklah mbok,” jawab Sekar Mirah kemudian, “Ada apa malam-malam begini?” Mbok Gumbrek salah satu pembantu perempuan Ki Gede segera mendorong pintu bilik. Namun alangkah terkejutnya dia begitu pintu terbuka lebar, tampak Sekar Mirah telah berdiri tegak di dekat pembaringan Bagus Sadewa dengan pakaian khusus serta senjata yang mengerikan tergenggam di tangan kanannya. “Nyi..?” terdengar suara sendat dari mbok Gumbrek. Dengan langkah tertegun-tegun dia berjalan memasuki bilik. Sekar Mirah yang menyadari keadaannya segera mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum lebar. Katanya kemudian, “Tidak ada masalah yang penting, mbok. Aku hanya sekedar ingin berlatih selangkah dua langkah dengan mbokayu Pandan Wangi di sanggar.” Mbok Gumbrek mengerutkan kening. Dengan nada sedikit ragu-ragu dia memberanikan diri bertanya, “Malam-malam begini?” Masih tetap dengan menyunggingkan sebuah senyuman, Sekar Mirah menjawab, “Ya mbok, apa salahnya? Aku mempunyai sedikit waktu luang hanya di saat tengah malam seperti ini. Di siang hari, aku tidak sempat meluangkan waktu sedikit pun untuk berlatih.” Sejenak mbok Gumbrek merenung. Pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju pada Bagus Sadewa yang sedang tidur terlelap. “Aku tadi dibangunkan oleh Nyi Pandan Wangi,” berkata mbok Gumbrek kemudian, “Aku dimintai tolong untuk menjaga putra Nyi Sekar Mirah.” “Nah, bukankah benar kataku,” sahut Sekar Mirah, “Tolong jagalah Bagus Sadewa. Tentu mbokayu Pandan Wangi sudah menungguku di sanggar.” “Baik, Nyi,” jawab mbok Gumbrek kemudian sambil mengangguk dalam-dalam. Tanpa membuang waktu lagi, dengan langkah tergesa-gesa Sekar Mirah pun kemudian segera meninggalkan bilik. Ketika bayangan anak perempuan Ki Demang Sangkal Putung itu sudah hilang menuju ke pintu butulan, barulah dengan langkah satu-satu mbok Gumbrek mendekati pembaringan Bagus Sadewa. Untuk beberapa saat, perempuan tua itu merenungi anak Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tertidur lelap berselimutkan kain panjang. “Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” gumam mbok Gumbrek ditujukan dirinya sendiri. Sambil duduk di bibir pembaringan, dicobanya untuk merunut peristiwa demi peristiwa yang akhir-akhir ini melanda tanah Perdikan Menoreh. “Tadi sore menjelang Matahari terbenam Ki Gede mendapat kunjungan beberapa tamu,” berkata mbok Gumbrek dalam hati, “Kata orang-orang, salah satu tamu Ki Gede adalah priyagung yang sangat dihormati. Kawan-kawan di dapur mengatakan yang datang berkunjung adalah Kanjeng Sunan,” mbok Gumbrek berhenti sejenak. Sambil mencoba mengingat-ingat, dia meneruskan lamunannya, “Perempuan yang sangat cantik yang datang bersama Kanjeng Sunan itu seingatku pernah tinggal di sini beberapa saat yang lalu. Namun sekarang dia telah kembali lagi. Sedangkan anak muda yang satunya aku tidak begitu mengenalnya.” Untuk beberapa saat mbok Gumbrek hanya diam membeku sambil merenungi wajah Bagus Sadewa yang terlihat begitu tenang, setenang air belumbang di tengah hutan yang tak tersentuh oleh tangan manusia. Dalam pada itu Sekar Mirah yang telah keluar lewat pintu butulan segera menyusuri longkangan menuju ke halaman samping. Di belakang gandhok kiri itu lah terletak sebuah sanggar yang cukup luas untuk berlatih olah kanuragan. Ketika Sekar Mirah telah keluar dari pintu seketeng samping, beberapa puluh tombak di hadapannya berdiri sebuah bangunan yang sudah tidak asing lagi baginya, sanggar olah kanuragan. “Mengapa mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja pintu sanggar itu terbuka lebar-lebar?” gumam Sekar Mirah sambil berjalan mendekati Sanggar, “Ataukah dengan sengaja mbokayu Pandan Wangi membiarkan pintu itu terbuka lebar agar aku tidak bercuriga jika ada sesuatu yang bersembunyi di balik pintu itu?” “Ah!” angan-angan itu ditepisnya sendiri, “Mbokayu Pandan Wangi bukan seorang yang curang dan berhati culas. Tidak mungkin jika dia bermaksud jahat kepadaku. Bukankah tadi dia sudah mengatakan bahwa semua yang telah terjadi itu baginya hanyalah sebuah kejadian masa lalu? Sungguh tidak sepantasnya aku berprasangka buruk kepadanya.” Tak terasa langkah Sekar Mirah hampir mencapai pintu sanggar. Sinar lampu dlupak yang kemerah-merahan segera saja menyambar seraut wajah paro baya namun terlihat masih cukup cantik itu. Pandangan mata Sekar Mirah pun dengan jelas segera melihat dua orang perempuan dalam pakaian khusus sedang berdiri berdampingan di tengah-tengah ruang sanggar. Sebuah desir tajam segera saja menggores jantungnya. Ayunan langkahnya pun menjadi terhenti dengan sendirinya. Berbagai dugaan dan kemungkinan telah bergejolak di dalam dadanya. “Mengapa mereka berdua justru telah berdiri berdampingan? Tidak berhadap-hadapan?” bertanya Sekar Mirah dalam hati disertai detak jantung yang berdentangan, “Apakah mereka berdua justru sedang menungguku? Menuntaskan dendam yang selama ini telah terpendam?” “Gila!” tiba-tiba saja tanpa sadar sebuah umpatan meluncur dari bibirnya dan membuat dirinya sendiri justru menjadi terkejut, “Permainan apakah sebenarnya yang sedang mereka berdua rencanakan?” Namun pada dasarnya puteri Demang Sangkal Putung itu adalah seorang perempuan yang keras hati dan sedikit tinggi hati. Dengan menghentakkan senjata yang tergenggam di tangan kanannya pada sebuah batu yang tergeletak selangkah di samping kanannya, dia pun melanjutkan langkahnya. “Persetan dengan semua itu!” geramnya. Dengan sebuah hentakan kecil saja, batu hitam sebesar induk ayam itu ternyata telah hancur berhamburan menjadi debu. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Sak dumuk bathuk sak nyari bumi, dak belani taker pati!” dengan langkah pasti Sekar Mirah pun kemudian segera menaiki tlundak Sanggar. ***** Dalam pada itu di tengah padang rumput Lemah Cengkar, pertempuran antara pasukan Mataram dengan para pengikut Pangeran Ranapati semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tumenggung Purbarana yang telah berhasil berhadap-hadapan langsung dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Ranapati telah mengalami tekanan yang diluar perhitungannya. “Gila!” geram Ki Tumenggung dalam hati, “Ternyata kesaktian orang yang mengaku trah Panembahan Senapati ini bukan sekedar omong kosong. Kemampuan orang ini diluar jangkauan ilmuku.” Namun sebagai seorang prajurit, tidak ada kata menyerah bagi Ki Tumenggung. Dihentakkan segenap kemampuannya dan dipasrahkan seluruh hidup matinya kepada Sang Maha Pencipta. Selangkah demi selangkah Ki Tumenggung mulai mundur dan hanya dapat mundur terus. Kekuatan pangeran Ranapati itu benar-benar tidak mampu dibendungnya. Beberapa kali sentuhan dari putra satu-satunya Rara Ambarasari itu telah membuat beberapa bagian tubuhnya memar dan lebam. Mereka berdua memang bertempur dengan tangan kosong. Namun kedua belah tangan mereka tak ubahnya senjata-senjata yang akan dapat membahayakan bagi lawannya. Sekilas pandangan mata Ki Tumenggung sempat melihat Pangeran Jayaraga yang hanya diam membeku di pinggir medan pertempuran. Pangeran adik Prabu Hanyakrawati itu tampak menundukkan wajahnya dalam-dalam tanpa menghiraukan hiruk pikuknya pertempuran. Beberapa saat tadi sebelum kedua pasukan itu berbenturan, Ki Tumenggung telah menugaskan dua orang prajurit untuk mengawalnya. Namun ternyata Pangeran Jayaraga justru telah menolaknya. “Lawan jumlahnya lebih banyak dari jumlah pasukanmu, Ki Tumenggung,” berkata Pangeran Jayaraga beberapa saat tadi, “Percayalah, aku tidak akan kemana-mana. Biarlah dua prajurit ini ikut bertempur. Engkau harus benar-benar memperhitungkan kekuatan lawanmu.” “Sendika Pangeran,” jawab Ki Tumenggung, “Kami mohon maaf tidak dapat melakukan pengawalan sebagaimana mestinya.” Pangeran Jayaraga tertawa pendek. Katanya kemudian, “Aku bukan lagi seorang Pangeran yang berhak mendapat pengawalan. Namun sekarang justru sebaliknya, aku adalah Pangeran pesakitan yang harus dikawal agar tidak melarikan diri atau pun membuat keonaran.” “Ah!” desah Ki Tumenggung sambil tersenyum masam. Katanya kemudian, “Kami mohon diri Pangeran. Agaknya lawan akan segera mulai melakukan penyerangan.” “Silahkan, Ki Tumenggung,” jawab pangeran Jayaraga kemudian singkat. Demikian lah, pertempuran di padang rumput lemah Cengkar itu pun kemudian berkobar semakin lama semakin dahsyat. Jumlah pengikut Pangeran Ranapati yang lebih banyak ternyata telah mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Beberapa prajurit bahkan harus berhadapan dengan dua atau tiga lawan sekaligus. Semakin lama tekanan yang dialami para prajurit Mataram semakin berat. Namun dengan cerdik beberapa Lurah prajurit telah memimpin anak buahnya bertempur dalam kelompok-kelompok sehingga untuk sementara tekanan yang dialami prajurit Mataram agak berkurang. Di garis depan, Ki Lurah Adiwaswa harus bertempur menghadapi tiga orang lawan sekaligus. Pedang di tangan kanannya berputaran bagaikan sayap anai-anai yang bertebangan di udara. Sementara sebuah tameng kecil di tangan kirinya tak henti-hentinya menangkis senjata-senjata lawan yang datang beruntun bagaikan air hujan yang tercurah dari langit. Seorang laki-laki yang rambutnya sudah putih semua tampak sedang memperhatikan pertempuran itu. Dengan langkah perlahan dia mendekati arena pertempuran Ki Lurah Adiwaswa. “Tikus-tikus clurut, minggirlah!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dari laki-laki yang rambutnya sudah putih semua itu, “Biar aku yang meladeni tingkah polah orang yang sombong ini!” Mendengar bentakan itu, tiga orang pengikut Pangeran Ranapati yang sedang bertempur dengan Ki Lurah Adiwaswa segera berloncatan mundur. “Bantulah kawan-kawanmu agar pertempuran ini segera berakhir,” berkata laki-laki itu sambil berjalan mendekati tempat Ki Adiwaswa berdiri. “Baik Kyai,” hampir serempak mereka menjawab sambil mengangguk. Sejenak kemudian ketiganya segera menyusup dan hilang ditelan riuhnya pertempuran. Berdesir jantung Ki Lurah Adiwaswa sambil pandangan matanya mengawasi ketiga orang itu bergeser surut. Dengan bergabungnya ketiga pengikut Pangeran Ranapati itu dengan kawan-kawannya yang lain, tekanan yang dialami pasukan Mataram akan semakin berat. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak sempat meneruskan angan-angannya karena lawan barunya kini sedang berjalan kearahnya. “Nah,” berkata laki-laki itu kemudian setelah dia berhadap-hadapan dengan Ki Lurah Adiwaswa, “Sebelum aku memenggal kepalamu, tidak ada jeleknya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Orang menyebutku Kyai Dadap Ireng, karena memang aku adalah pemimpin perguruan Dadap Ireng.” Ki Lurah Adiwaswa mengerutkan keningnya. Nama perguruan Dadap Ireng terdengar masih asing di telinganya. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak ingin mengecewakan lawannya. Maka katanya kemudian, “Terima kasih Kyai Dadap Ireng. Aku Lurah Adiwaswa, salah satu Lurah prajurit yang bertugas di kesatuan pasukan berkuda Mataram.” “Persetan dengan pasukan berkuda Mataram!” geram Kyai Dadap Ireng, “Aku tidak menyuruhmu untuk menyebut namamu. Siapa yang peduli dengan namamu, he!” Ki Lurah Adiwaswa manarik nafas dalam-dalam. Kesan pertama yang didapatkan dari lawannya cukup mendebarkan. Agaknya orang yang menyebut dirinya Kyai Dadap Ireng ini tidak perduli dengan segala unggah-ungguh dan suba sita. “Baiklah Kyai Dadap Ireng,” akhirnya Ki Lurah Adiwaswa berkata, “Aku juga tidak peduli apakah aku berhadapan dengan Dadap Ireng atau Dadap Merah atau bahkan mungkin yang sekarang aku hadapi ini adalah Dadap Ayam, sejenis pohon Dadap yang dapat tumbuh menjulang tinggi namun batangnya bengkok dan kayunya sangat lunak.” “Tutup mulutmu!” teriak Kyai Dadap Ireng sambil meloncat menyambar mulut lawannya. Namun Ki Lurah Adiwaswa sudah waspada terhadap segala gerak gerik lawannya. Dengan mudah dihindari serangan lawan yang mengarah ke wajahnya itu. Sejenak kemudian keduanya pun segera terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Silih ungkih singa lena. Terlena sedikit saja nyawa yang menjadi taruhannya. Dalam pada itu, kuda-kuda pasukan Mataram yang lepas dari jebakan di lemah Cengkar telah berlari-larian tanpa arah. Beberapa ekor kuda justru tidak berpacu lurus mengikuti kuda-kuda yang lain menuju Kademangan Jati Anom. Dua ekor kuda justru telah mengambil jalan ke arah kiri menuju Padepokan orang bercambuk. Dua orang cantrik yang sedang berjaga terkejut ketika pendengaran mereka lamat-lamat mendengar derap beberapa ekor kuda menuju ke arah gerbang Padepokan. “Kuda?” desis salah seorang cantrik sambil mengangkat kepalanya, “Malam-malam begini?” “Marilah,” desis kawannya sambil beringsut turun dari pendapa, “Mungkin ada tamu penting yang sengaja berkunjung di waktu yang tidak sewajarnya ini.” Cantrik itu tidak menyahut. Diraihnya pedang pendek yang tergeletak di lantai pendapa. Setelah menyelipkan pendang pendek itu di ikat pinggangnya, dengan tergesa-gesa dia segera berlari mengejar kawannya yang telah terlebih dahulu mencapai pintu gerbang.. Ketika cantrik itu telah sampai di depan gerbang padepokan, kawannya tampak sedang mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu yang sedikit renggang. “Dua ekor kuda,” bisik kawannya pada cantrik yang baru datang. “He?” seru cantrik itu terkejut, “Dua orang berkuda, katamu?” “Bukan, bukan dua orang berkuda,” jawab kawannya sambil tetap mengintip, “Dua ekor kuda lengkap dengan pelana namun tanpa seorang penunggang pun.” “He?” kembali cantrik itu berseru heran. Dengan tergesa-gesa dia segera ikut mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu gerbang padepokan. Tampak dalam keremangan malam dua ekor kuda lengkap dengan pelana serta perkakas lainnya sedang berderap perlahan di jalan yang menuju ke padepokan dan akhirnya berhenti beberapa tombak di depan gerbang padepokan. Setelah termangu-mangu beberapa saat. Dua ekor kuda itu pun kemudian berjalan menepi dan kemudian merumput dengan tenang di pinggir jalan. “Aneh,” desis cantrik itu, “Dua ekor kuda tanpa penunggang. Pasti sesuatu telah terjadi pada kedua penunggangnya. Aku akan melaporkan ini kepada Ki Widura.” Kawannya mengerutkan keningnya sambil menjauhkan kepalanya dari pintu gerbang. Katanya kemudian, “Apakah cukup beralasan jika kita membangunkan Ki Widura di saat seperti ini?” Sejenak cantrik itu merenung. Namun jawabnya kemudian sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Namun keberadaan dua ekor kuda tanpa penunggang ini dapat menimbulkan berbagai dugaan. Mungkin saja ada orang-orang yang sedang memerlukan pertolongan.” “Atau bisa jadi hanya dua ekor kuda yang lepas dari kandangnya karena pemiliknya lupa menutup pintu kandang,” sahut temannya dengan serta merta. “Tapi pemiliknya tentu tidak akan memasangkan pelana jika memang kedua ekor kuda itu hanya terlepas dari kandang,” bantah cantrik itu kemudian. Kawannya tidak menjawab lagi. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk. “Ah, sudahlah,” berkata cantrik itu kemudian, “Tunggulah di sini. Awasi kuda-kuda itu. Aku akan melaporkan kepada Ki Widura.” “Apakah aku harus membuka pintu gerbang?” bertanya kawannya kemudian. “Tidak perlu,” jawab cantrik itu sambil melangkah pergi, “Awasi saja dari celah-celah pintu gerbang. Jika keadaan berkembang diluar kewajaran, engkau dapat memukul kentongan untuk memberikan isyarat.” “Baik,” jawab kawannya. Tanpa sadar matanya memandang kearah sebuah kentongan kecil yang tersangkut di pojok pintu gerbang sebelah atas. Dalam pada itu, pertempuran di lemah Cengkar semakin lama menjadi semakin sulit bagi pasukan Mataram. Walaupun demikian, sebagai prajurit mereka tetap bertahan sampai titik darah penghabisan. Ki Tumenggung Purbarana yang merasa semakin terdesak ternyata telah mengambil sebuah keputusan untuk sekedar mengulur waktu. Ketika sebuah serangan datang membadai dari lawannya, dengan cepat dia segera meloncat mundur tiga kali. Begitu kakinya menginjak tanah kembali, di tangan kanan Tumenggung Purbarana telah tergenggam sebilah pedang panjang. Pangeran Ranapati tertawa melihat Ki Tumenggung menggenggam senjatanya. Katanya kemudian, “O, agaknya Ki Tumenggung ingin menunjukkan kepadaku sebuah ilmu pedang yang nggegirisi. Baiklah, aku juga akan menggunakan kerisku ini. Hati-hatilah Ki Tumenggung. Goresan sekecil apapun dari kerisku, sudah cukup mengantarkan nyawamu ke alam kelanggengan.” Selesai berkata demikian, Pangeran Ranapati segera menghunus sebilah keris yang terselip di pinggangnya. Sebuah keris yang berwarna kehitam-hitam dan berluk sembilan. Berdesir jantung Ki Tumenggung begitu melihat ujud keris lawannya. Keris itu pasti mengandung warangan yang sangat kuat. Dengan sebuah goresan kecil sekali saja, nyawanya tidak akan tertolong lagi. Sejenak kemudian keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Ilmu pedang Ki Tumenggung ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata. Bilah pedang itu bagaikan menjadi berpuluh-puluh dan mengurung lawannya dari segala penjuru. Namun lawannya adalah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Untuk beberapa saat memang dia terlihat terdesak beberapa langkah mundur. Namun itu hanya berlangsung beberapa saat. Ketika Pangeran Ranapati telah menemukan titik kelemahan permainan pedang lawannya, keris di tangannya segera berputaran dan mengeluarkan asap tipis berwarna kehitam-hitaman. Ki Tumenggung benar-benar telah kehilangan akal. Ilmu pedangnya tidak mampu menembus pertahanan lawan, bahkan kini kembali dirinya yang terdesak mundur. Tidak ada jalan lain baginya selain mengetrapkan puncak ilmunya, apapun yang terjadi. “Jika ilmu pamungkasku kali ini membentur kekuatan yang tak tertahankan, setidak-tidaknya aku telah melakukan sebuah usaha,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Demikianlah akhirnya. Setelah melihat tidak ada jalan lain, selain membenturkan puncak ilmunya, Ki Tumenggung pun segera bersiap. Ketika kesempatan itu akhirnya datang, dengan cepat Ki Tumenggung segera meloncat beberapa langkah ke belakang. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, disilangkan pedang panjang itu di depan dadanya. Kemudian dengan perlahan ujung pedang itu terjulur ke depan mengarah dada lawan. Sementara tangan kirinya terkepal sejajar lambung. Pangeran Ranapati yang melihat lawannya meloncat mundur tidak berusaha mengejar. Dengan tenang ditunggunya serangan pamungkas lawannya. Yang terjadi kemudian adalah benar-benar dahsyat. Dengan sebuah teriakan menggelegar ki Tumenggung Purbarana meloncat tinggi. Pedang panjangnya terayun deras mengarah kepala lawannya. Sebuah senyum tipis terlihat di bibir pangeran yang keras hati itu. Setelah sekejap merangkapkan tangan kiri beserta tangan kanan yang menggenggam keris di depan dada, dengan tenang Pangeran Ranapati segera mengangkat senjatanya ke atas kepalanya untuk menangkis serangan lawan. Bersambung ke Jilid 416 > Pages 1 2 3 TheFTD® Happy Day™ Bouquet. It’s amazing the effect flowers can have on its recipient. Through a collection of yellow roses and luminous bupleurum all set within a recycled cylindrical glass vase, our Happy Day bouquet is sure to bring a smile to the face of whoever it’s given to. Usage Attribution-NonCommercial-ShareAlike International Topics Api Di Bukit Menoreh 001~396 Collection booksbylanguage_indonesian; booksbylanguage Language Indonesian Api Di Bukit Menoreh 001~396 Addeddate 2019-03-06 090117 Identifier ApiDiBukitMenoreh_201903 Identifier-ark ark/13960/t2h77z19f Ocr ABBYY FineReader Extended OCR Ppi 300 Scanner Internet Archive HTML5 Uploader plus-circle Add Review comment Reviews There are no reviews yet. Be the first one to write a review. 6,118 Views 1 Favorite DOWNLOAD OPTIONS download 40 files ABBYY GZ Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 40 files DAISY Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download For print-disabled users download 40 files EPUB Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.epub download download 40 files FULL TEXT Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 1 file ITEM TILE download download 40 files KINDLE Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.mobi download download 40 files PDF Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.pdf download 1, Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.pdf download download 1 file PNG download download 40 files SINGLE PAGE PROCESSED JP2 ZIP Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 1 file TORRENT download download 247 Files download 46 Original SHOW ALL IN COLLECTIONS Indonesian Books by Language Books by Language Uploaded by private-library on March 6, 2019
Bukanterusan ataupun lanjutan API di BUKIT MENOREH. BUMBUNG 2. W aktu terasa merambat tak terasa dan hari yang telah di tentukan telah tiba, pagi itu Ki Gede Monoreh telah meminta Ki Jayaraga datang ke rumahnya. Sementara itu, Agung Sedayu telah berada di sanggar bersama Glagah Putih. Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4 Popular Posts.
CaraKerja Palang Pintu Kereta Api; Api Dibukit Menoreh Seri Iv; Ciri Ciri Batu Barjad Api; Api Dibukit Menoreh Jilid 417; Api Dibukit Menoreh 416; Api Di Kota Aden; Api Di Bukit Menoreh Pdf Download; Api Di Bukit Menoreh Lanjutan; Api Di Bukit Menoreh 397; Api Di Bukit Menoreh 343; Api Dan Lentera Lirik; Makalah Tentang Transportasi Kereta Api

SunMountain Overview. The above offers are undoubtedly the best Sun Mountain discounts over the internet. As of now, CouponAnnie has 14 discounts in sum regarding Sun Mountain , including 1 code, 13 deal, and 2 free shipping discount. For an average discount of 37% off, shoppers will receive the lowest price reductions up to 80% off.

SHMINTARDJA. API DI BUKIT MENOREH 3. Seperti yang terdahulu, saya ketengahkan ceritera ini dengan harapan yang sama. Ceritera yang dicari dibumi sendiri bertolak pada sifat manusia, dengki, iri, nafsu, cita2 namun juga cinta Yang melahirkan segala macam peristiwa, pertentangan, pertengkaran, perang, tetapi juga tuntutan keadilan dan kebenaran. Apidi Bukit Menoreh 66. By admin • Nov 11th, 2008 • Category: 1. Silat Jawa, SHM - Api dibukit Menoreh Dada Gupita menjadi berdebar-debar. Sikap itu benar-benar meyakinkan, dan dengan demikian maka Gupita pun menjadi semakin mengaguminya. Gadis ini memang luar biasa. Kalau kelak ia menemukan kematangan bagi ilmunya itu, maka ia akan menjadi
LanjutanApi di Bukit Menoreh 397 – 5. by kibanjarasman 06/11/2017 4 2270. “Angger, kau sudah berada cukup jauh dalam melangkah di jelajah orang-orang berilmu tinggi dalam olah kanuragan. Selain ilmu kebal dan serangan melalui sorot mata, kini kau mampu mengolah watak panas menjadi. seperti cahaya matahari yang terhalang mendung,” berkata
teacupchihuahua breeders ontario; jason grosfeld wikipedia; outdoor chairs for handicapped tap retaining clip; sandy point dog friendly accommodation point to line distance calculator 4g64 throttle position sensor. medical medium results 915 mhz europe; the largest percentage of solar energy that penetrates the atmosphere of the earth is used to .
  • by3ag71i7o.pages.dev/691
  • by3ag71i7o.pages.dev/385
  • by3ag71i7o.pages.dev/596
  • by3ag71i7o.pages.dev/624
  • by3ag71i7o.pages.dev/313
  • by3ag71i7o.pages.dev/910
  • by3ag71i7o.pages.dev/513
  • by3ag71i7o.pages.dev/773
  • by3ag71i7o.pages.dev/535
  • by3ag71i7o.pages.dev/202
  • by3ag71i7o.pages.dev/57
  • by3ag71i7o.pages.dev/556
  • by3ag71i7o.pages.dev/208
  • by3ag71i7o.pages.dev/758
  • by3ag71i7o.pages.dev/662
  • api di bukit menoreh 415